Thursday, 29 October 2015

Pemuda Potret Pemimpin Masa Depan

Ilustrasi Pemuda lintasjatim, OPINI - Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Adagium ini patut kita renungkan bersama pasca ... thumbnail 1 summary
Ilustrasi Pemuda
lintasjatim, OPINI - Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Adagium ini patut kita renungkan bersama pasca ‘seremonial’ Hari Sumpah Pemuda. Mengapa seremonial? Karena perlu kita akui, peringatan Hari Sumpah Pemuda yang berlangsung selama ini kebanyakan cenderung seremonial saja, hanya dirayakan dengan wacana. Tak lebih! 

Kembali pada adagium di atas, seiring berjalannya waktu, pemimpin ditingkat manapun yang sekarang sedang melaksanakan tugas dan tanggungjwabnya, mau tidak mau harus berhadapan dengan waktu. Pergeseran kursi kepemimpinan menjadi suatu hal yang mutlak adanya. Maka, mempersiapkan pengganti bagi kursi kepemimpinan yang ditinggalkan adalah sebuah kewajiban. Tentu, berbicara tentang pengganti idealnya kita berbicara tentang pemuda. 

Refleksi Sejarah

Delapan puluh tujuh tahun lalu, tepatnya pada 28 Oktober 1928, perwakilan organisasi kepemudaan Indonesia dari berbagai wilayah seperti Jong Java, Jong Batak, Jong Ambon dan Jong Sumatranen Bond berkumpul bersama, mengakui, mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Sebuah capaian yang luar biasa di era kolonial saat itu dengan berhasil menghimpun kekuatan persatuan dan kesatuan sebagai modal besar untuk menyongsong kemerdekaan.

Pertemuan para founding fathers itu menegaskan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai tekad untuk bersatu melalui modus vivendi (kesepakatan luhur). Ikatan primordial yang berbeda diikat dalam bingkai komitmen persatuan demi kepentingan bersama. Sebagaimana diungkapkan Clifford Geertz, ikatan primordial adalah ikatan asal yang terdiri agama, ras suku, daerah, dan bahasa yang sering menjadi sumber konflik dan pemecah belah bangsa jika tidak ada kekuatan yang mengikat dengan kokoh (Mahfud, 2010:101). Pemuda di era 1928 berhasil melebur ikatan primordial, dan dari moment bertemunya perbedaan itulah terlahir sebuah momentum kebangkitan bangsa yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda. 

Spirit persatuan dan kesatuan yang dicontohkan oleh perwakilan pemuda Indonesia yang berkumpul dalam sebuah forum bernama Kongres Pemuda itu menjadi modal kita juga untuk Indonesia yang lebih baik. Menjadi pemikir besar, berjiwa besar dan, mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Akhirnya, kita bisa melihat tokoh-tokoh seperti Mohamad Yamin, Amir Syarifuddin, Wage Rudolf Supratman, Mohamad Roem yang merupakan punggawa Kongres Pemuda tahun 1928 tampil menjadi manusia 1945 yang turut merebut kemerdekaan dan mempunyai peran penting dalam keberlangsungan kehidupan bernegara.

Pada gilirannya, Momen kelahiran Sumpah Pemuda memberi pelajaran yang luar biasa bagi kita, pemuda abad XXI.

Pemuda Pemimpin Masa Depan

Sampai hari ini, kemerdekaan yang diproklamirkan sejak tujuh puluh tahun lalu nampak masih semu. Kita sebagai sebuah bangsa yang merdeka, kenyataannya masih hidup dalam bayang-bayang imprealisme, baik dari bangsa asing, atau bangsa sendiri. Bangsa asing melakukan penjajahan budaya, ideologi, dan ekonomi, bangsa kita melakukan penjajahan berupa korupsi, kekerasan, dan diskriminasi. Momen peringatan Hari Sumpah Pemuda adalah momen yang tepat untuk menelaah kembali keberlangsungan kehidupan kebangsaan kita. 

Sumpah pemuda adalah gerakan kesadaran, bahwa pemuda adalah masa depan sejarah negara. Kepada pemuda masa depan Indonesia bertumpu. Pemuda lah pengganti para pemimpin yang saat ini menjabat posisi penting di negara kita. 

Perkataan Bung Karno “beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncang dunia” patut kita renungkan. Pemilihan kata akan ku guncang dunia menandakan bahwa pemuda punya peran penting dalam proses kebangkitan. Benar. Kebangkitan di sektor manapun. 

Tahun 1928 pemuda bangkit dengan melahirkan Sumpah Pemuda. Tahun 1945 berhasil merebut kemerdekaan. Tahun 1998 dengan reformasi. Semua melibatkan pemuda. Maka pemuda sudah selayaknya terbangun. Sebab, pemuda saat ini adalah pemimpin masa depan.

Pemimpin adalah pemegang kendali. Dalam konteks Indonesia yang notabene ‘kapal besar’ dengan ribuan pulau, maka pemimpin haruslah punya visi besar dan bermental kokoh. Pemimpin berperan penting dalam perubahan nasib negara. 

Sosiolog Muslim ternama, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa pemimpin memiliki peran yang besar dalam membentuk masyarakat. Bahkan pada masalah agama pun masyarakat cenderung mengikuti pemimpinnya. Begitujuga yang disampaikan Madogal dan Tard, seorang psikolog dan sosiolog modern, bahwa masyarakat berasal dari hasil kerja dan rekayasa para pemimpinnya, para pembaru, dan ahli pikir (Zainuddin: 2015:7) 

Berangkat dari pernyataan tokoh-tokoh di atas, mempersiapkan sosok ideal sebagai pemimpin masa depan adalah sebuah kenyataan. Berbagai upaya harus dilakukan sebagai manifestasi merancang masa depan Indonesia. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemuda untuk Indonesia yang lebih baik. Pertama, pelajari sejarah. Hal ini dilakukan untuk memantapkan pemahaman tentang proses perjalanan sebagai sebuah bangsa. Melalui pengkajian literatur dan diskusi sejarah (termasuk pemikiran bapak bangsa) kedepannya diharapkan dapat menelurkan pemimpin yang benar-benar mengenal dan cinta pada bangsa. Bukan pemimpin yang berkhianat, sebab tak mau tahu betapa berat perjuangan para pendahulu. 

Kedua, mempelajari masa yang akan datang. Bukan hanya paham sejarah, tetapi juga harus paham masa yang akan datang agar tidak terjebak pada romantisme historis. Banyak dari kita yang terlampau sibuk dengan masa lalu dan sama sekali tak mengenal tantangan dan hal-hal yang terkait dengan masa yang akan datang. Hari esok pun masuk dalam poin kedua ini. Di sinilah pola fikir dan sikap yang ideal. Berdiri di masa kini, mengaca ke belakang, menatap ke depan. 

Demikianlah, Bersama kita hadirkan ruh Sumpah Pemuda dalam diri kita masing-masing. Peringatan Hari Sumpah Pemuda bukanlah seremonial belaka. Bersama kita bangkit. Kita adalah masa depan negara. Selamanya lagu kita tetap sama; Indonesia Raya !

Penulis:
Robbah MA
Mahasiswa Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel


Hasil Kerja Keras, Embarkasi Surabaya Terbaik se-Indonesia

Ilustrasi lintasjatim.com, SURABAYA - Penyelenggaraan haji 2015 dari seluruh penjuru nusantara telah berakhir Senin (26/10) lalu. Embarkasi ... thumbnail 1 summary
Ilustrasi
lintasjatim.com, SURABAYA - Penyelenggaraan haji 2015 dari seluruh penjuru nusantara telah berakhir Senin (26/10) lalu. Embarkasi Surabaya sebagai salah satu embarkasi terbaik se-Indonesia secara umum mendapatkan indeks kepuasan sebesar 79 persen dari jamaah haji.

Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kakanwil) Jawa Timur, Mahfud Shodar mengatakan secara keseluruhan indeks kepuasan jamaah haji Embarkasi Surabaya sebesar 79 persen sudah tergolong ketegori memuaskan. “Sejak di Asrama Haji Sukolilo kita berupaya memberikan layanan terbaik agar para jamaah haji dapat beribadah dengan khusyuk,” katanya, Kamis (29/10) di Kemenag Jatim. 

Mahfud menjelaskan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan petugas kepada Jamah Haji Embarkasi Surabaya, Indeks Kepuasan tertinggi dicapai pada jenis pelayanan penerimaan jamaah haji oleh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Surabaya sebesar 89 persen.

Dibanding pelayanan tahun lalu, ia mengungkapkan indeks kepuasaan tahun ini mengalami kenaikan sebesar 1 persen. Kenaikan terbesar terjadi pada pelayanan Penerimaan jamaah haji oleh PPIH Embarkasi Surabaya yakni 2 persen. 

Lebih lanjut, ia menambahkan berdasarkan layanan yang diterima jamaah haji, saat berada di Asrama Haji, layanan yang diberikan petugas dan layanan yang diberikan Kelompok Bimbingan, tertinggi terjadi pada pelayanan akomodasi sebesar 84 persen.

Kategori lainnya, dijelaskan Mahfud Indeks kepuasan jamaah haji Embarkasi Surabaya saat di Arab Saudi sebesar 80 persen. Indeks tertinggi dicapai pada jenis Pelayanan Transportasi, sebesar 86 persen dan terendah Pelayanan Catering sebesar 75 persen.

Indeks kepuasan jamaah haji Embarkasi Surabaya saat di Asrama Haji sebesar 80 persen, sementara Indeks kepuasan jamaah haji Embarkasi Surabaya terkait pelayanan Petugas Haji sebesar 83 persen. Tarakhir Indeks kepuasan jamaah haji Embarkasi Surabaya terhadap layanan Kelompok Bimbingan sebesar 73 persen.

Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) awal 2014 merilis embarkasi haji terbaik. Embarkasi Surabaya berhasil ditetapkan sebagai embarkasi terbaik se-Indonesia. Tahun ini, embarkasi surabaya menargetkan agar prestasi ini tetap dipertahankan.

Kabid PHU Kemenag Jatim, HM Sakur mengatakan, prestasi embarkasi Surabaya dari tahun ke tahun merupakan buah dari kerja keras semua pihak. Terutama upaya Petugas Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) dalam menyiapkan pelayanan sejak beberapa bulan yang lalu.

“Pelayanan terkait kesehatan, makanan, jadwal penerbangan, ruang istirahat, dan pengawalan khusus pada CJH lansia adalah beberapa konsentrasi yang terus diperbaiki. Meski menjadi yang terbaik, itu tidak membuat kita berdiam diri, namun terus meningkatkan layanan,” katanya.

Ia menambahkan, haji tahun ini embarkasi Surabaya melakukan perbaikan dan penambahan fasilitas di beberapa sisi embarkasi. Calon Jamaah Haji (CJH) akan dimanjakan dengan suasana yang asri dan penuh ketenangan. Sebagai tempat transit sebelum berangkat ke tanah suci, CJH membutuhkan tempat yang kondusif. [luk/stj]


Tuesday, 27 October 2015

Membumikan Nilai Pluralitas Bangsa Indonesia

Ilustrasi lintasjatim.com, OPINI - Indonesia merupakan salah satu negara multikulturalis terbesar di dunia. Berbagai pluralitas yang ada di ... thumbnail 1 summary
Ilustrasi
lintasjatim.com, OPINI - Indonesia merupakan salah satu negara multikulturalis terbesar di dunia. Berbagai pluralitas yang ada di Indonesia terdiri dari keragaman kelas sosial, etnis dan ras, gender, anak berkebutuhan khusus, agama, bahasa, dan usia. Hal ini dapat didukung oleh data sebagai berikut: merupakan negara yang mempunyai kurang lebih 17.000 pulau; jumlah penduduknya lebih dari 250 juta; mempunyai lebih dari 700 suku bangsa; memiliki lebih dari 360 dialek bahasa lokal; beragam Agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Soebadio, H., 1983; Yaqin, A.M. 2005); dan Indonesia terdiri dari 34 propinsi. 

Untuk mengelola keragaman ini, para pendiri bangsa ini di tahun 1945 memutuskan sebuah platform bersama, yakni Pancasila, yang mempunyai lima nilai inti: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini mengatur kehidupan masyarakat. Peran penting agama dalam kehidupan publik diakui oleh sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tetapi sila ini tidak mendukung agama tertentu, termasuk Islam—agama mayoritas—untuk menjadi ideologi negara.

Konstitusi Indonesia (UUD 1945) menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengamalkan keyakinannya. Pasal 29 UUD 1945 menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”

Untuk menjamin pluralitas bangsa indonesia agar senantiasa utuh dan berjalan harmonis, pendiri bangsa ini selain mencetuskan platform besar dalam bentuk pancasila dan UUD 1945, ada satu pilar penting yang patut kita ketahui dan hayati, yakni Bineka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika, adalah semboyan pada lambang negara Republik Indonesia yang keberadaannya berdasarkan PP No 66 Tahun 1951, yang mengandung arti “Berbeda tetapi satu”. Semboyan tersebut menurur Prof. Soepomo, menggambarkan gagasan dasar, yakni menghubungkan daerah-daerah dan suku-suku bangsa di seluruh nusantara menjadi Kesatuan Raya.


Bila merujuk pada asalnya, yaitu kitab Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular pada abad XIV, ternyata semboyan tersebut merupakan seloka atau slogan yang menekankan pentingnya kerukunan antar umat dari agama yang berbeda pada waktu itu yaitu Syiwa dan Budha. Dengan demikian, konsep Bhinneka Tunggal Ika yang lengkapnya berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangrva” merupakan kondisi dan tujuan kehidupan yang ideal dalam lingkungan masyarakat yang serba majemuk dan multi etnik.

Meski secara teoritis bangsa indonesia sudah mempunyai landasan yang cukup kuat untuk membingkai keberagaman yakni melalui Pancasila, UUD 1945, dan Bineka Tunggal Ika. Namun, faktanya di Indonesia pernah terjadi beberapa konflik yang bernuansa suku, agama, ras, dan golongan (SARA), diantaranya adanya pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperoleh kemerdekaan dari Indonesia antara tahun 1976 hingga tahun 2005; pemberontokan yang terjadi di Maluku oleh organisasi sparatis Republik Maluku Selatan (RMS) 1950-sekarang, peberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), konflik Poso; dan lain-lain.


Adanya konflik yang bermotif SARA tersebut penting kita catat sebagi sebuah upaya untuk menginstropeksi diri: seberapa mampu bangsa indonesia membumikan nilai pluralitas sebagai identitas nasional yang dapat dijadikan bingkai persatuan atas keberagaman suku bangsa. Internalisasi nilai pluralitas perlu ditanamkan dalam setiap individu bangsa Indonesia sebagai wujud bahwa kita menghormati perbedaan diantara kemajemukan bangsa. Perlunya penerapan konsep unity in diversity yakni suatu konsep yang secara filosofis dapat mengikat bangsa Indonesia yang berbeda mampu hidup berdampingan sebagai satu-kesatuan.



Monday, 26 October 2015

IRONI atau KOMPROMI?

Ilustrasi Plagiat lintasjatim.com, OPINI - Plagiarisme dan contek-mencontek sudah disepakati bahwa ia merupakan tindakan yang tidak terpuji... thumbnail 1 summary
Ilustrasi Plagiat
lintasjatim.com, OPINI - Plagiarisme dan contek-mencontek sudah disepakati bahwa ia merupakan tindakan yang tidak terpuji. Lebih jauh lagi, ia mencederai moralitas. Namun, meski hal ini sudah diketahui secara luas, tindakan tercela tersebut masih tetap dilakukan dengan berbagai macam alasan. Pelajar dari sekolah atau perguruan tinggi islam pun tidak terkecualikan. Apakah ini ironi atau ada kompromi didalamnya?

Dalam salah satu kaidah ushul fiqh menyebutkan, apabila terdapat dua mudharat sekaligus, ambillah yang paling besar mudharatnya. Artinya, kita diizinkan untuk melanggar ketentuan tertentu agar terhindar dari keburukan yang lebih besar. Dalam kaitannya dengan plagiarisme dan contek-mencontek, seorang teman yang melakukan tindakan tersebut berpendapat berlandaskan pada kaidah diatas. Dia mengatakan bahwa apabila dia tidak mencontek dan akhirnya tidak lulus ujian, dia akan tambah membebani orang tuanya secara ekonomi dan mental karena dia harus mengulang mata kuliah yang tidak lulus tersebut. Akhirnya, dia menyimpulkan bahwa mencontek boleh-boleh saja. Sekilas, analoginya nampak masuk akal. Namun, jika dicermati kembali, mungkin kita akan berpikir berulang kali tentang ‘kebolehan’ tersebut.

Penulis khawatir bahwa orang yang melakukan plagiarisme dan contek-mencontek tersebut adalah orang yang tidak atau malas berusaha agar mampu mengerjakan tugas dan ujiannya tanpa tindakan tercela tersebut. Maka, apapun alasannya untuk membenarkan tindakan tercela itu tetaplah sulit untuk diterima. 

Lantas, bagaimana dengan orang yang sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin, tapi tiba-tiba lupa saat menghadapi soal-soal ujian? Adakah toleransi untuk plagiarisme dan contek-mencontek? Dalam hemat penulis, hal tersebut tidak bisa dibenarkan karena pendidikan sendiri untuk mencetak manusia yang tidak hanya cerdas otaknya, tapi juga mulia karakternya. Selanjutnya, jika alasan plagiarisme dan contek-mencontek itu adalah untuk ‘tidak membebani’ orang tua nantinya, maka penulis meyakini bahwa orang tua akan lebih ‘terbebani’ mengetahui anaknya menjadi plagiator dan penipu dan tidak lulus mata kuliah.

Lalu, mengapa kita harus menolak plagiatisme dan contek-mencontek? Akibat tindakan itu bisa merugikan banyak orang. Namun, dampak negatif pada diri sendiri: Pertama, tindakan tersebut bisa menghambat kreatifitas. Kedua, ini yang paling penting bahwa ia mngejarkan sifat malas. Seseorang yang sudah terbiasa dengan tindakan tercela itu akan terbiasa pula menjadi malas dan tidak berusaha. Bukankah nilai sesuatu terletak pada proses dan usahanya?

Untuk sebagian orang, keadaan tanpa plagiarisme dan contek-mencontek sulit diterima. Namun, tidakkah kita (dengan modal agama, pelajaran keislaman, dan kampus islam pula) terdorong untuk tidak melakukan tindakan tercela itu? Karena nampaknya plagiarisme dan contek-mencontek dalam kehidupan yang islami bukan merupakan sebuah kompromi, tapi ironi yang nyata.

Penulis: Mohammad Iqrom
(Penulis Adalah Aahasiswa Fakultas Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya) 


Saturday, 24 October 2015

Ada Yang Tahu, Berapa Lama Tidurnya Orang Sukses?

Ilustrasi lintasjatim.com - Orang bilang pengusaha atau pemimpin negara itu tidak tidur. Nyatanya tak selalu seperti itu. Lihat saja Barack... thumbnail 1 summary
Ilustrasi
lintasjatim.com - Orang bilang pengusaha atau pemimpin negara itu tidak tidur. Nyatanya tak selalu seperti itu. Lihat saja Barack Obama dan Bill Gates. Apa keduanya begadang demi menyelesaikan segudang pekerjaan?

Sejumlah pengusaha sukses atau pemimpin negara tetap tidur 6 sampai 9 jam setiap malam.

Contohnya Presiden ke-44 Amerika Serikat yang tidur selama 6 jam setiap harinya. Obama baru tidur pukul 01.00 dini hari dan bangun pukul 07.00 waktu setempat. Sementara Bill Gates, sang pendiri perusahaan Microsof tidur selama 7 jam. Ia tidur pukul 00.00 hingga pukul 07.00.

Sama halnya dengan CEO Apple, Tim Cook. Ia tidur selama 7 jam, mulai pukul 21.30 hingga 04.30.

Sebuah infografis dari HomeArena yang dilansir Time memperlihatkan variasi lamanya tidur beberapa pengusaha sukses. Tapi, tak hanya jumlah tidur, rata-rata pemimpin yang sukses memulai harinya lebih awal.

Studi terbaru telah mengidentifikasi sebuah gen mungkin bertanggung jawab untuk apakah Anda berfungsi lebih baik pada malam hari atau di pagi hari.

Namun, pelajaran yang bisa diambil di sini adalah satu-satunya orang yang dapat memberi tahu berapa banyak tidur yang Anda butuhkan adalah Anda sendiri. Tubuh Anda memiliki mekanisme untuk memberi tahu ketika Anda membutuhkannya. Oleh karena itu dengarkanlah tubuh Anda.

Ingat juga untuk tidak mengabaikan tanda-tanda dari tubuh karena bisa berdampak yang luar biasa pada suasana hati Anda, produktivitas, dan kesehatan.

Jadi kembangkanlah tidur yang baik dengan rutin sehingga Anda terbiasa, dan jadwal tidur menjadi alami. Pastikan Anda memulai hari Anda dengan benar, terlepas dari waktu mulainya.

Setelah Anda menemukan alurnya, Anda akan terkejut melihat seberapa baik Anda menangani tantangan bisnis sehari-hari. (Melly F)

Sumber: detikforum.com

Demonstrasi Berangkat Dari Gagasan Pemikiran

Sambungan dari...  Demonstrasi: Antara Gagasan Pemikiran dan Gerakan Aksi Ilustrasi Demonstrasi mahasiswa yang berangkat dari gagasan empiri... thumbnail 1 summary

Ilustrasi

Demonstrasi mahasiswa yang berangkat dari gagasan empiris terhadap ketimpangan sosial diharapkan bisa menjadikan hasil yang baik dalam rangka menyuarakan aspirasinya. hal seperti mempunyai nilai yang lebih baik, jika gagasan tersebut kemudian menjadi gagasan yang diusung aktivis organisasi mahasiswa. dalam bahasa sederhananya, demonstrasi yang dilakukan merupakan hasil analisis gagasan yang bersifat empiris, bukan demonstrasi yang bersifat reaksioner atas permasalahan-permasalahan yang bersifat insidental.

Dalam berdemonstrasi, terkadang aktivis mahasiswa merasa puas dengan hanya mengandalkan spanduk dan dan bendera yang bertuliskan slogan-slogan terkait isu yang diusung. Sulit ditemui politik ilmu pengetahuan dari digerakan dari gerakan politik mahasiswa dewas ini. Suara mahasiswa hanya lantang di megafon, dengan teriakan politis yang agak narsis. Dalam pemaknaan “membela rakyat”, datang saat tubuh berbalut jas almamater kebanggan organisasi. Juga mereka tentu berharap teriakan dalam menyuarakan aspirasi rakyat dapat diliput media massa sebagai bentuk kebanggan dan kebesaran dan penyebaran teriakan.

Mahasiswa hanya bangga dengan teriakan mengutarakan atas nama rakyat. Sebagai aktivis mereka tidak cenderung enggan melakukan tugas ilahiah-ilmiah. Mereka tidak berkemauan menorehkan goresan tinta keilmuan sebagai kesadaran untuk tugas ilmu pengetahuan. Mereka mengingnkan jasanya di kenang sebagai catatan prestius oleh semua orang. Tapi sayang, di benak mereka sedang terjadi dekadensi moral dan intelektual. Sehingga menyulitkan langkah untuk mendapat pamrih yang hendak dicapai.

Taufik Abdullah, mengutip Max Webber dalam kata pengantar kumpulan makalah yang terangkum pada pemuda dan perubahan sosial (1974) bahwa Webber merenungi hakikat pemuda yang epigon, membanggakan diri terhadap generasi yang lebih tua. Tanpa gagasan yang segar dan ilmiah, gerakan itu akan semakin sangit. Tentu yang di butuhkan adalah kesadaran historis: telaah ulang terhadap pemikiran terdahulu dari pada hanya membanggakan!

Lain halnya dengan Soe Hok Gie, ia tidak hanya menjadi demonstran yang membuat jalan menjadi macet untuk menuntut pembubaran PKI. Atau juga menuntut penurunan harga BBM. Namun, lebih dari itu, gie juga melakukan pergerakan ilmu dengan melakukan demonstrasi yang sebenarnya: melakukan kerja merekam setiap peristiwa yang dijumpainya ke dalam tulisan.

Merubah pola pikir memang tidak mudah, demikian halnya dengan transformasi gerakan mahasiswa dari demonstrasi menuju gagasan berbentuk tulisan. Sehingga, dalam hal ini diperlukan kesadaran kolektif bagi mahasiswa, bahwa menulis adalah kebutuhan dan sarana pemberi gagasan solutif bagi segala persoalan bangsa.

Penulis: A. Zainal Abidin, Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya

Demonstrasi: Antara Gagasan Pemikiran dan Gerakan Aksi

Ilustrasi Demonstrasi lintasjatim.com, OPINI - Di abad 21 ini, tak terhitung berapa jumlahnya kita temui gerakan aksi mahasiswa (demonstras... thumbnail 1 summary
Ilustrasi Demonstrasi
lintasjatim.com, OPINI - Di abad 21 ini, tak terhitung berapa jumlahnya kita temui gerakan aksi mahasiswa (demonstrasi) sebagai respon atas kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat. Berbagai tempat dijadikan pusat demonstrasi yang dilakuan mahasiswa: di gedung DPR, Balai Kota, area kampus sendiri, maupun ruang publik lain. Menjadi sebuah ironi ketika aksi demonstrasi yang lebih bersifat gerakan fisik nyaring didengungkan di berbagai tempat. 

Namun, teramat sulit kita menjumpai gerakan mahasiswa yang vokal menyuarakan gagasan pemikirannya di media massa. Baik media massa di lingkup kampus sendiri, maupun pada lingkup regional, dan nasional. Bila ada mahasiswa yang mau menulis itupun tidak jarang gagasan yang disampaikan sulit diterima oleh pembaca. Hal itu di sebabkan dalam menulis sering terburu-buru, sehingga dalam pemaknaan kurang utuh.

Antara demonstrasi dengan turun ke jalan-jalan dan ruang-ruang publik, dengan demonstrasi yang di tuangkan melalui ide-ide berbentuk tulisan memang tidak bisa dinilai baik-buruk secara sepihak. Artinya, keduanya mempunyai pola berbeda dalam menyampaikan responnya terhadap suatu hal. Sehingga, semua mempunyai nilai plus-minus masing-masing. Tetapi, yang disayangkan kini perhatian mahasiswa lebih banyak diarahkan kepada aksi demonstrasi. Sehingga, geliat menulis menjadi terkikis. Stereotip ini mungkin sepintas masih terlihat sepele.

Namun, jika kita mau menoleh kebelakang sebagai mahasiswa ada tiga hal penting yang patut menjadi catatan: membaca, menulis, dan diskusi adalah menu pokok yang perlu dipenuhi mahasiswa. Tak terkecuali pada poin kedua (membaca), idealnya juga harus mendapat perhatian serius guna aplikasi gagasan secara ril dalam bentuk tulisan.

Mengutip sebuah essai yang disampaikan Anton Prasetyo, gelora menulis dan berdemonstrasi mahasiswa, (jawa pos, 23/11/2014). Anton menulis bahwa mahasiswa, selain menulis, harus berdemonstrasi. Jika pada hari ini publik menganggap dirugikan oleh negara dengan dinaikannya harga bahan bakar minyak (BBM), mahasiswa merasa terpanggil untuk turun ke jalan dan melakukan aksi menuntut harga BBM diturunkan atas nama rakyat. Jika kekuasaan (pemerintah) merugikan rakyat, mahasiswa merasa wajib menggelar aksi demonstrasi. Itu adalah modus operandi mahasiswa Indonesia.

Namun, barangkali kita sulit menemukan adannya ide-ide yang diapliasikan dalam kehidupan empiris mahasiswa dan masyarakat secara luas. Kita semakin sulit mendapati demonstrasi gagasan. Hanya demonstrasi fisik. 

Sementara itu, sebagai bentuk perhatianya kepada dunia kepenulisan mahasiswa, Irma Muflikhah, selaku pe­ngelola Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, Semarang, yang juga merupakan ma­ha­siswa Jurusan Matematika IAIN Walisongo Semarang, mengungkapkan. “Dengan menulis, mahasiswa menjadi peka terhadap isu. Se­bab, ide menulis biasanya ber­awal dari isu aktual yang ber­kem­bang di masyarakat, baik seputar politik, sosial, budaya maupun ekonomi. Mahasiswa menjadi tahu berbagai perma­sa­lahan di dalam negeri dan kemudian ikut memberikan solusi lewat tulisan. Tentunya, dengan analisis yang mendalam. Bukan layaknya aksi demonstrasi ma­hasiswa yang terkadang mereka sen­diri tidak mengetahui sub­stan­si persoalan atau isu yang di­perjuangkan karena minim ana­lisis”.

Demonstrasi Berangkat Dari Gagasan Pemikiran

Demonstrasi mahasiswa yang berangkat dari gagasan empiris terhadap ketimpangan sosial diharapkan bisa menjadikan hasil yang baik dalam rangka menyuarakan aspirasinya. hal seperti mempunyai nilai yang lebih baik, jika gagasan tersebut kemudian menjadi gagasan yang diusung aktivis organisasi mahasiswa. dalam bahasa sederhananya, demonstrasi yang dilakukan merupakan hasil analisis gagasan yang bersifat empiris, bukan demonstrasi yang bersifat reaksioner atas permasalahan-permasalahan yang bersifat insidental. Baca Lanjutannya..

Penulis: A. Zainal Abidin, Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya

Friday, 23 October 2015

Lebih Dekat Dengan Sosok Tri Rismaharini

Tri Rismaharini lintasjatim.com, Profil - Tri Rismaharini merupakan Wali Kota Surabaya wanita pertama yang menjabat untuk periode 2010-2015... thumbnail 1 summary
Tri Rismaharini
lintasjatim.com, Profil - Tri Rismaharini merupakan Wali Kota Surabaya wanita pertama yang menjabat untuk periode 2010-2015. Sebelum menjabat sebagai wali kota, ia menduduki posisi sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP). Di bawah kepemimpinannya sebagai Kepala DKP hingga wali kota saat ini, Surabaya menjadi kota yang bersih dan asri. Bahkan kota yang mendapat sebutan Kota Pahlawan ini berhasil meraih kembali Piala Adipura 2011 untuk kategori kota metropolitan setelah lima tahun berturut-turut tak lagi memperolehnya.

Wanita yang akrab disapa dengan nama Risma ini berada di bawah naungan Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDIP). Ia terkenal sebagai sosok wanita yang tegas dan tak kenal kompromi dalam menjalankan tugasnya. Bahkan karena sikapnya tersebut, sebagian pejabat di DPRD pernah berusaha untuk mendepak Risma dari jabatan Wali Kota Surabaya.

Pada tanggal 31 Januari 2011, Ketua DPRD Surabaya Whisnu Wardhana menggunakan hak angketnya untuk menurunkan Risma dari posisinya sebagai wali kota. Ia beralasan bahwa Risma telah melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 16/2006 tentang prosedur penyusunan hukum daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Ia dianggap melanggar karena ia tidak melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam membahas maupun menyusun Peraturan Wali Kota Surabaya (Perwali) Nomor 56 tahun 2010 yang mengatur tentang perhitungan nilai sewa reklame dan Perwali Nomor 57 tentang perhitungan nilai sewa reklame terbatas di kawasan khusus kota Surabaya yang menaikkan pajak reklame menjadi 25%. Enam dari dari tujuh fraksi politik yang ada di dewan, termasuk PDIP yang mengusungnya, mendukung keputusan ini. Hanya fraksi PKS yang menolak dengan alasan belum cukup bukti dan data. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menilai alasan pemakzulan Risma terlalu mengada-ada. Ia pun menegaskan bahwa Risma tetap menjabat sebagai Wali Kota Surabaya. Beredar kabar bahwa keputusan memberhentikan Risma dikarenakan banyaknya kalangan DPRD Kotamadya Surabaya yang tidak senang akan keputusan Risma menolak keras pembangunan tol tengah Kota Surabaya dan lebih memilih meneruskan proyek frontage road dan MERR-IIC (Middle East Ring Road) yang akan menghubungkan area industri Rungkut hingga ke Jembatan Suramadu via area timur Surabaya.

Wanita kelahiran 20 November 1961 ini menjadi salah satu nominasi wali kota terbaik di dunia, 2012 World Mayor Prize, yang digelar oleh The City Mayors Foundation. Ia terpilih karena segudang prestasi yang sudah ia torehkan selama menjabat sebagai Wali Kota Surabaya. Ia dinilai berhasil menata kota Surabaya menjadi kota yang bersih dan penuh taman. Salah satu buktinya adalah pemugaran Taman Bungkul di tengah kota. Dulunya, taman tersebut tidak layak disebut taman, namun kini Taman Bungkul menjadi taman terbesar dan terkenal di kota Surabaya. Selain itu, ia juga telah berperan besar dalam membangun pedestrian bagi pejalan kaki dengan konsep modern di sepanjang jalan Basuki Rahmat yang kemudian dilanjutkan hingga jalan Tunjungan, Blauran, dan Panglima Sudirman. Di bawah kepemimpinannya pula, ia sukses mengantarkan Surabaya memperoleh penghargaan Adipura di tahun 2011. Risma menjadi kandidat wali kota terbaik dunia asal Indonesia bersama dua orang lainnya, yaitu Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo dan Wali Kota Solo Joko Widodo.

PENDIDIKAN

SMP Negeri X Surabaya (1976)
SMU Negeri V Surabaya (1980)
S-1 Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) (1987)
S-2 Manajemen Pembangunan Kota Surabaya ITS (2002)

KARIR

Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Bappeko Surabaya (1997-2000)
Kepala Seksi Pendataan dan Penyuluhan Disbang (2001)
Kepala Cabang Dinas Pertamanan (2001)
Kepala Bagian Bina Bangunan (2002)
Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan (2005)
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (2010)
Wali Kota Surabaya (2010-2015)

Sumber: merdeka.com

Pelayanan Akademik dan Kompetensi Dosen UIN SA

Gedung Baru Twin Tower Sebagai Icon UIN Sunan Ampel Surabaya Sambungan..  Masalah Gedung Baru UIN Sunan Ampel Surabaya Sebetulnya sudah lagu... thumbnail 1 summary
Gedung Baru Twin Tower Sebagai Icon UIN Sunan Ampel Surabaya

Sebetulnya sudah lagu lama, ketika urusan akademik banyak dihujani keritik, masalahnya juga kelasik, misalnya soal pelayanan yang kurang baik. Namun karena pihak akedemik tidak juga instropeksi diri untuk merubah sikap ‘negatifnya’, maka kemudian hujan keritik juga selalu dialirkan oleh mahasiswa.

Memang mahasiswa tidak memukul rata semua pagawai akademik, karena dilapangan yang menjadi ‘ulat’ hanya satu dua orang. Misalnya hal ini terlihat kemarin ketika proses penyerahan berkas beasiswa keluarga miskin (Gakin), salah seorang pegawai yang mengurusi berkas tersebut sering memarahi mahasiswa dengan nada tinggi, karena mahasiswa kurang lengkap atau salah dalam pemberkasan. Berkenaan dengan Gakin, 

selain pelayan dalam pemberkasan kurang menyenangkan, juga pemberian info Gakin yang sangat terlambat, dan cenderung ditutup-tutupi. Bayangkan saja, pemberian Info dilakukan hanya dalam kurun waktu seminggu sebelum deadline akhir pengumpulan berkas. Padahal berkas yang perlu dipersiapkan mahasiswa cukup banyak, sehingga butuh waktu lama.

Selain itu pemberian info juga hanya ditempel di meja bagian akademik. Ini menjadi menjadi indikasi kuat bahwa pihak dekanat ingin ‘mengebiri’ hak mahasiswa untuk mendapatkan beasiswa. Padahal seharusnya ada meding kampus yang menjadi corong info mahasiswa, namun keberdaan di nafikkan oleh kebijkan ‘buruk’ dekanat.

Kompetensi Dosen

Sebagaimana konsep ekonomi, dosen merupakan produsen ilmu bagi mahasiswa yang menjadi konsumennya. Sebagai pihak yang memproduksi ilmu, dosen perlu cakap dan berkualitas dalam menguasai rumpun ilmu yang ia ajarkan. Kecakapan keilmuan yang dimiliki idealnya mencakup soal kuantitas dan kualitas, kuantitas berarti kesesuaian antara bidang keilmuan yang di dalami ketika seorang dosen masih berkuliah sampai mendapat gelar sarjana terntentu. Sedangkan secara kualitas berarti seorang dosen harus benar-benar mumpuni dalam mengajarkan mata kuliah yang diampu.

Secara penilaian, dari segi kualitas mungkin seorang akan sulit dideteksi tentang kemampuan kelimuannya, karena itu sifatnya subjektif. Tetapi, secara kuantitias seorang dosen akan mudah kita lihat. Misalnya seorang yang bergelar Magister Agama, namun dalam praktiknya ia mengajar mata kuliah umum yang tidak linier dengan gelar sarjananya.

Di FSH, fenomena dosen “salah kamar” yang dalam mengajar sudah menjadi hal yang lumrah. Bahkan nampaknya sudah menjadi kebiasaan buruk yang terus dilestarikan, sehingga terkesan sudah wajar. Padahal sebetulnya hal ini suatu ‘penyakit’ yang perlu segera di amputasi agar tidak menjalar kemana-mana. 

Menurut Abu Azam Al Hadi, selaku Wadek I menuturkan, mengenai kualifikasi dosen di FSH menurutnya ada bebarapa dosen yang sudah sesuai dengan mata kuliah yang diampu dan ada bebarapa yang belum, “dosen fakultas Syariah dan hukum sesuai dengan kualifikasinya yaitu mengampu mata kuliah yang memang benar-benar bidang dosen tersebut. Seperti ilmu fikih yang memang diampu oleh dosen ilmu fikih, studi hadits yang diampu oleh dosen hadits dan begitu juga dengan ilmu al qur’an dan tafsir, jadi semuanya sesuai dengan bidangnya masing masing. Terkecuali apabila terkait dengan dunia perbankan ataupun hukum.” Tuturnya. (Arrosail, edisi ke-81, 10 september 2014)

Sebagaimana yang disampaikan pak Azam, problem utama yang menggeluti persoalan dosen adalah soal kualifikasi dosen yang mempunyai keahlian di bidang hukum positif dan dunia perbankan. Maka itu, hal yang perlu dan mendesak dilakukan birokrat di tingkat FSH adalah dengan sesegara mungkin mencari dosen baru yang disesuaikan dengan kebutuhan keilmuan umum yang ada di FSH. Karena bagaimanapun tidak dapat dipungkiri bahwa silabi mata kuliah yang berada di FSH tidak hanya rumpun ilmu yang berbasis syariah, namun juga memadukan ilmu umum, khususnya di bidang hukum. Baca Juga : Mahasiswa Baru, Gedung Baru, dan Masalah Baru

Penulis: A. Zainal Abidin, Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya

Masalah Gedung Baru UIN Sunan Ampel Surabaya

Gedung Baru Twin Tower Sebagai Icon UIN Sunan Ampel Surabaya Sambungan...  Mahasiswa Baru, Gedung Baru, dan Masalah Baru Pada tahun 2012-201... thumbnail 1 summary
Gedung Baru Twin Tower Sebagai Icon UIN Sunan Ampel Surabaya


Pada tahun 2012-2013, ada banyak gedung baru yang sedianya digunakan untuk ruang kuliah, tapi malah dirobohkan, diantaranya gedung A fakultas syariah, gedung A fakultas tarbiyah, gedung pasca sarjana, dan Magha. Gedung-gedung tersebut dihancurkan lantaran alih status IAIN ke UIN yang mengharuskan pembaruan gedung, juga gedung-gedung tersebut dianggap sudah tak layak huni, karena sudah berdiri cukup lama. 

Pasca dihancurkan, gedung-gedung baru mulai dibangun pada awal oktober 2014, dan kini ada beberapa gedung yang sudah hampir jadi dan dengan “agak memaksa” sudah dapat ditempati, diantaranya gedung A FSH yang sudah digunakan kuliah sejak tanggal 07 September 2015, lalu. 

Khusus Mahasiswa FSH boleh jadi merasa senang, karena bisa mencicipi gedung baru yang berlantai 4 tersebut. Namun mahasiswa juga patut kecewa ketika sudah masuk kedalam gedung A FSH, kekecewaan tersebut misalnya karena gedung baru yang mereka tempati ternyata AC-nya berkualitas rendah, dan meski jumlah AC dalam satu ruangan ada dua, tapi hanya satu yang dapat dinyalakan. 

Menurut Suyinko, S.Ag., M.Si, salah seorang dosen yang coba menanyakakan ke Akademik bagian umum menuturkan, daya listriknya tidak kuat kalau dua AC yang ada di satu ruangan dinyalakan secara bersamaan. Hal ini menjadikan mahasiswa serta dosen yang sedang melakukan aktifitas perkuliahan merasa kepanasan, sehingga proses pengajaran kurang berjalan optimal. 

Selain soal AC, yang tidak kalah memperihatinkan adalah soal kursi untuk kuliah, bayangkan, sampai bulan ke-2 masuk kuliah, mahasiwa FSH dipaksa lesehan duduk tanpa kursi dalam proses perkuliahan. Ini sungguh ironis, ketika mahasiswa diwajibkan tepat waktu untuk bayar SPP kuliah setiap semester, namun birokrat kampus malah mendzalimi mahasiswa dengan telat memberi fasilitas yang dibutuhkan mahasiswa. 

Menurut Dr. H. Abu Azam Al Hadi, M. Ag, yang menjabat sebagai wakil dekan (Wadek) I bidang akademik, mengatakan bahwa pihak dekanat belum bisa memastikan kapan kursi dapat segera ada, “kita (dekanat) tidak dapat memastikan kapan kursi ada, karena itu adalah urusannya pihak rektorat.” Ucap pak azam ketika ditemui di ruangannya. 

Sementara itu, ketika penulis mencoba menanyakan pengadaan kursi untuk gedung baru FSH ke pihak rektorat, di bagian umum, pak Tikno yang penulis tanyai mengatakan, “soal pengadaan kursi kemungkinan masih lama, kurang lebih dua bulan, dan sebenarnya itu juga tanggunng jawab pihak dekant (FSH), karena gedung sudah diserah terimakan.” Tutur pak Tikno. 

Mendengar hal itu nampaknya ada kesan saling lempar tanggung jawab antara pihak rektorat dan dekanat terkait pengadaan kursi. Dalam hal ini, utamnya mahasiswa perlu mendapat kejelasan pengadaan kursi, khususnya terkait kapan kursi ada dan siapa yang berkewajiban mengadakannya. Jika kemudian birokrat kampus tidak segera memberi kejelasan, maka tidak menutup kemungkinan mahasiswa akan bertindak ‘berani’ untuk menuntut haknya. Baca lanjutannya : Pelayanan Akademik

Penulis: A. Zainal Abidin, Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya

Mahasiswa Baru, Gedung Baru, dan Masalah Baru

Gedung Baru Twin Tower Sebagai Icon UIN Sunan Ampel Surabaya lintasjatim.com, OPINI - Terhitung sejak selasa, 02 September 2015, mahasiswa ... thumbnail 1 summary
Gedung Baru Twin Tower Sebagai Icon UIN Sunan Ampel Surabaya

lintasjatim.com, OPINI - Terhitung sejak selasa, 02 September 2015, mahasiswa baru (Maba) mulai aktif berkuliah di UIN sunan Ampel Surabaya (UINSA). Tidak kurang dari tiga ribu mahasiswa berhasil diterima menjadi mahasiswa di UINSA, yang terbagi di sembilan fakultas,

Sembilan fakultas yakni, Fakultas Adab dan Humaniora; Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi; Fakultas Syariah dan Hukum; Fakultas Tarbiyah dan Keguruan; Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam; Fakultas Sosial dan Ilmu Politik; Fakultas Psikologi dan Kesehatan; Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam; dan Fakultas Sains dan Teknologi. Khusus di fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Maba yang diterima berjumlah kurang lebih enam ratus mahasiswa, (data OSCAAR FSH 2015). 

Pasca konversi IAIN menjadi UIN, pada 04 Desember 2014, UINSA secara bertahap menjadi tujuan ‘menarik’ bagi calon lulusan SMA/sederajat, salah satu indikator dari semakin diminatinya kampus UINSA bisa diliha­­t, misalnya dengan terpenuhinya seluruh program studi (Prodi) yang ada, melalui seleksi penerimaan mahasiswa baru yang cukup ketat. 

Selain perubahan status (IAIN ke UIN), ada hal lain yang membuat daya tarik UINSA semakin meningkat, hal lain tersebut adalah rumpun keilmuan yang menjadi lahan garap UINSA kini tidak hanya melulu ilmu keagamaan, namun juga ilmu umum yang ketika masih menjadi IAIN belum ada. 

Adanya ilmu umum yang ada di UINSA menjadikan kampus ini memiliki daya tarik tersendiri bagi lulusan SMA umum, karena sebelumnya ketika bernama IAIN, secara umum peminatnya mayoritas hanya dari kalangan Alumnus Pesantren dan sekolah berbasis agama, misalnya Madarasah Aliyah (MA). 

Konsekuensi perubahan IAIN menjadi UIN juga memberikan nuansa baru terkait slogan yang di kumandangkan, slogan tersebut yakni kurang lebih bermakna sebagai berikut: integerasi keilmuan umum dan keilmuan keislaman. Dari slogan tersebut tentu membuat siapa saja yang berkuliah di UINSA benar-benar berharap mendapat kualifikasi keilmuan yang memadukan ilmu agama dan umum, tak terkecuali bagi Maba yang baru merasakan berkuliah di UINSA. 

Untuk mewujudkan harapan setiap mahasiswa yang kuliah di UINSA sekurang-kurangnya ada dua cara, pertama, semangat belajar mahasiswa haruslah tinggi. Kedua, sarana-prasana yang disediakan kampus wajib mempunyai standar mutu dan pelayanan yang baik, hal itu menjadi hak mahasiswa, karena pada saat kuliah mereka harus bayar.

Berkenaan dengan sarana-prasarana yang disedikan kampus, hari ini mahasiswa pantas dan cukup beralasan ketika mengangggap birokrat kampus banyak lalai dalam memberi fasilitas yang dibutuhkan mahasiswa untuk menunjung sarana belajar-mengajar. Misalnya soal gedung baru, pelayanan akademik, dan kompetensi dosen. Baca lanjutannya : Masalah Gedung Baru

Penulis: A. Zainal Abidin, Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya