Ilustrasi Demonstrasi |
lintasjatim.com, OPINI - Di abad 21 ini, tak terhitung berapa jumlahnya kita temui gerakan aksi mahasiswa (demonstrasi) sebagai respon atas kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat. Berbagai tempat dijadikan pusat demonstrasi yang dilakuan mahasiswa: di gedung DPR, Balai Kota, area kampus sendiri, maupun ruang publik lain. Menjadi sebuah ironi ketika aksi demonstrasi yang lebih bersifat gerakan fisik nyaring didengungkan di berbagai tempat.
Namun, teramat sulit kita menjumpai gerakan mahasiswa yang vokal menyuarakan gagasan pemikirannya di media massa. Baik media massa di lingkup kampus sendiri, maupun pada lingkup regional, dan nasional. Bila ada mahasiswa yang mau menulis itupun tidak jarang gagasan yang disampaikan sulit diterima oleh pembaca. Hal itu di sebabkan dalam menulis sering terburu-buru, sehingga dalam pemaknaan kurang utuh.
Antara demonstrasi dengan turun ke jalan-jalan dan ruang-ruang publik, dengan demonstrasi yang di tuangkan melalui ide-ide berbentuk tulisan memang tidak bisa dinilai baik-buruk secara sepihak. Artinya, keduanya mempunyai pola berbeda dalam menyampaikan responnya terhadap suatu hal. Sehingga, semua mempunyai nilai plus-minus masing-masing. Tetapi, yang disayangkan kini perhatian mahasiswa lebih banyak diarahkan kepada aksi demonstrasi. Sehingga, geliat menulis menjadi terkikis. Stereotip ini mungkin sepintas masih terlihat sepele.
Namun, jika kita mau menoleh kebelakang sebagai mahasiswa ada tiga hal penting yang patut menjadi catatan: membaca, menulis, dan diskusi adalah menu pokok yang perlu dipenuhi mahasiswa. Tak terkecuali pada poin kedua (membaca), idealnya juga harus mendapat perhatian serius guna aplikasi gagasan secara ril dalam bentuk tulisan.
Mengutip sebuah essai yang disampaikan Anton Prasetyo, gelora menulis dan berdemonstrasi mahasiswa, (jawa pos, 23/11/2014). Anton menulis bahwa mahasiswa, selain menulis, harus berdemonstrasi. Jika pada hari ini publik menganggap dirugikan oleh negara dengan dinaikannya harga bahan bakar minyak (BBM), mahasiswa merasa terpanggil untuk turun ke jalan dan melakukan aksi menuntut harga BBM diturunkan atas nama rakyat. Jika kekuasaan (pemerintah) merugikan rakyat, mahasiswa merasa wajib menggelar aksi demonstrasi. Itu adalah modus operandi mahasiswa Indonesia.
Namun, barangkali kita sulit menemukan adannya ide-ide yang diapliasikan dalam kehidupan empiris mahasiswa dan masyarakat secara luas. Kita semakin sulit mendapati demonstrasi gagasan. Hanya demonstrasi fisik.
Sementara itu, sebagai bentuk perhatianya kepada dunia kepenulisan mahasiswa, Irma Muflikhah, selaku pengelola Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, Semarang, yang juga merupakan mahasiswa Jurusan Matematika IAIN Walisongo Semarang, mengungkapkan. “Dengan menulis, mahasiswa menjadi peka terhadap isu. Sebab, ide menulis biasanya berawal dari isu aktual yang berkembang di masyarakat, baik seputar politik, sosial, budaya maupun ekonomi. Mahasiswa menjadi tahu berbagai permasalahan di dalam negeri dan kemudian ikut memberikan solusi lewat tulisan. Tentunya, dengan analisis yang mendalam. Bukan layaknya aksi demonstrasi mahasiswa yang terkadang mereka sendiri tidak mengetahui substansi persoalan atau isu yang diperjuangkan karena minim analisis”.
Demonstrasi Berangkat Dari Gagasan Pemikiran
Demonstrasi mahasiswa yang berangkat dari gagasan empiris terhadap ketimpangan sosial diharapkan bisa menjadikan hasil yang baik dalam rangka menyuarakan aspirasinya. hal seperti mempunyai nilai yang lebih baik, jika gagasan tersebut kemudian menjadi gagasan yang diusung aktivis organisasi mahasiswa. dalam bahasa sederhananya, demonstrasi yang dilakukan merupakan hasil analisis gagasan yang bersifat empiris, bukan demonstrasi yang bersifat reaksioner atas permasalahan-permasalahan yang bersifat insidental. Baca Lanjutannya..
Penulis: A. Zainal Abidin, Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya
No comments
Post a Comment