Ilustrasi Plagiat |
lintasjatim.com, OPINI - Plagiarisme dan contek-mencontek sudah disepakati bahwa ia merupakan tindakan yang tidak terpuji. Lebih jauh lagi, ia mencederai moralitas. Namun, meski hal ini sudah diketahui secara luas, tindakan tercela tersebut masih tetap dilakukan dengan berbagai macam alasan. Pelajar dari sekolah atau perguruan tinggi islam pun tidak terkecualikan. Apakah ini ironi atau ada kompromi didalamnya?
Dalam salah satu kaidah ushul fiqh menyebutkan, apabila terdapat dua mudharat sekaligus, ambillah yang paling besar mudharatnya. Artinya, kita diizinkan untuk melanggar ketentuan tertentu agar terhindar dari keburukan yang lebih besar. Dalam kaitannya dengan plagiarisme dan contek-mencontek, seorang teman yang melakukan tindakan tersebut berpendapat berlandaskan pada kaidah diatas. Dia mengatakan bahwa apabila dia tidak mencontek dan akhirnya tidak lulus ujian, dia akan tambah membebani orang tuanya secara ekonomi dan mental karena dia harus mengulang mata kuliah yang tidak lulus tersebut. Akhirnya, dia menyimpulkan bahwa mencontek boleh-boleh saja. Sekilas, analoginya nampak masuk akal. Namun, jika dicermati kembali, mungkin kita akan berpikir berulang kali tentang ‘kebolehan’ tersebut.
Penulis khawatir bahwa orang yang melakukan plagiarisme dan contek-mencontek tersebut adalah orang yang tidak atau malas berusaha agar mampu mengerjakan tugas dan ujiannya tanpa tindakan tercela tersebut. Maka, apapun alasannya untuk membenarkan tindakan tercela itu tetaplah sulit untuk diterima.
Lantas, bagaimana dengan orang yang sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin, tapi tiba-tiba lupa saat menghadapi soal-soal ujian? Adakah toleransi untuk plagiarisme dan contek-mencontek? Dalam hemat penulis, hal tersebut tidak bisa dibenarkan karena pendidikan sendiri untuk mencetak manusia yang tidak hanya cerdas otaknya, tapi juga mulia karakternya. Selanjutnya, jika alasan plagiarisme dan contek-mencontek itu adalah untuk ‘tidak membebani’ orang tua nantinya, maka penulis meyakini bahwa orang tua akan lebih ‘terbebani’ mengetahui anaknya menjadi plagiator dan penipu dan tidak lulus mata kuliah.
Lalu, mengapa kita harus menolak plagiatisme dan contek-mencontek? Akibat tindakan itu bisa merugikan banyak orang. Namun, dampak negatif pada diri sendiri: Pertama, tindakan tersebut bisa menghambat kreatifitas. Kedua, ini yang paling penting bahwa ia mngejarkan sifat malas. Seseorang yang sudah terbiasa dengan tindakan tercela itu akan terbiasa pula menjadi malas dan tidak berusaha. Bukankah nilai sesuatu terletak pada proses dan usahanya?
Untuk sebagian orang, keadaan tanpa plagiarisme dan contek-mencontek sulit diterima. Namun, tidakkah kita (dengan modal agama, pelajaran keislaman, dan kampus islam pula) terdorong untuk tidak melakukan tindakan tercela itu? Karena nampaknya plagiarisme dan contek-mencontek dalam kehidupan yang islami bukan merupakan sebuah kompromi, tapi ironi yang nyata.
Penulis: Mohammad Iqrom
No comments
Post a Comment