Tuesday, 27 October 2015

Membumikan Nilai Pluralitas Bangsa Indonesia

Ilustrasi lintasjatim.com, OPINI - Indonesia merupakan salah satu negara multikulturalis terbesar di dunia. Berbagai pluralitas yang ada di ... thumbnail 1 summary
Ilustrasi
lintasjatim.com, OPINI - Indonesia merupakan salah satu negara multikulturalis terbesar di dunia. Berbagai pluralitas yang ada di Indonesia terdiri dari keragaman kelas sosial, etnis dan ras, gender, anak berkebutuhan khusus, agama, bahasa, dan usia. Hal ini dapat didukung oleh data sebagai berikut: merupakan negara yang mempunyai kurang lebih 17.000 pulau; jumlah penduduknya lebih dari 250 juta; mempunyai lebih dari 700 suku bangsa; memiliki lebih dari 360 dialek bahasa lokal; beragam Agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Soebadio, H., 1983; Yaqin, A.M. 2005); dan Indonesia terdiri dari 34 propinsi. 

Untuk mengelola keragaman ini, para pendiri bangsa ini di tahun 1945 memutuskan sebuah platform bersama, yakni Pancasila, yang mempunyai lima nilai inti: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini mengatur kehidupan masyarakat. Peran penting agama dalam kehidupan publik diakui oleh sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tetapi sila ini tidak mendukung agama tertentu, termasuk Islam—agama mayoritas—untuk menjadi ideologi negara.

Konstitusi Indonesia (UUD 1945) menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengamalkan keyakinannya. Pasal 29 UUD 1945 menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”

Untuk menjamin pluralitas bangsa indonesia agar senantiasa utuh dan berjalan harmonis, pendiri bangsa ini selain mencetuskan platform besar dalam bentuk pancasila dan UUD 1945, ada satu pilar penting yang patut kita ketahui dan hayati, yakni Bineka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika, adalah semboyan pada lambang negara Republik Indonesia yang keberadaannya berdasarkan PP No 66 Tahun 1951, yang mengandung arti “Berbeda tetapi satu”. Semboyan tersebut menurur Prof. Soepomo, menggambarkan gagasan dasar, yakni menghubungkan daerah-daerah dan suku-suku bangsa di seluruh nusantara menjadi Kesatuan Raya.


Bila merujuk pada asalnya, yaitu kitab Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular pada abad XIV, ternyata semboyan tersebut merupakan seloka atau slogan yang menekankan pentingnya kerukunan antar umat dari agama yang berbeda pada waktu itu yaitu Syiwa dan Budha. Dengan demikian, konsep Bhinneka Tunggal Ika yang lengkapnya berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangrva” merupakan kondisi dan tujuan kehidupan yang ideal dalam lingkungan masyarakat yang serba majemuk dan multi etnik.

Meski secara teoritis bangsa indonesia sudah mempunyai landasan yang cukup kuat untuk membingkai keberagaman yakni melalui Pancasila, UUD 1945, dan Bineka Tunggal Ika. Namun, faktanya di Indonesia pernah terjadi beberapa konflik yang bernuansa suku, agama, ras, dan golongan (SARA), diantaranya adanya pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperoleh kemerdekaan dari Indonesia antara tahun 1976 hingga tahun 2005; pemberontokan yang terjadi di Maluku oleh organisasi sparatis Republik Maluku Selatan (RMS) 1950-sekarang, peberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), konflik Poso; dan lain-lain.


Adanya konflik yang bermotif SARA tersebut penting kita catat sebagi sebuah upaya untuk menginstropeksi diri: seberapa mampu bangsa indonesia membumikan nilai pluralitas sebagai identitas nasional yang dapat dijadikan bingkai persatuan atas keberagaman suku bangsa. Internalisasi nilai pluralitas perlu ditanamkan dalam setiap individu bangsa Indonesia sebagai wujud bahwa kita menghormati perbedaan diantara kemajemukan bangsa. Perlunya penerapan konsep unity in diversity yakni suatu konsep yang secara filosofis dapat mengikat bangsa Indonesia yang berbeda mampu hidup berdampingan sebagai satu-kesatuan.



No comments

Post a Comment