lintasjatim.com, Jember - Sebuah barang yang identik dengan almarhum KH Abdul Muchit Muzadi ialah mesin ketik. Alat inilah yang menjadi teman Mbah Muchit dalam menuangkan pemikirannya. Mesin ketik ini tidak pernah tergantikan oleh komputer.
Meskipun Mbah Muchit mengenal era komputer, dia tidak pernah memanfaatkan alat canggih itu. Dia masih tetap memilih memakai mesin ketik.
Ketika usianya senja dan tidak kuat mengetik lagi, barulah orang lain membantu atau mengetik melalui komputer untuk dirinya.
Kisah tentang kegemaran Mbah Muchit dalam mengetik itu disaksikan oleh beberapa mahasiswa Universitas Jember yang 'mondok' di Masjid Sunan Kalijaga.
Masjid dan tempat tinggal Mbah Muchit bersebelahan. Suara mesin ketik akan terdengar nyaring sampai ke telinga para santrinya.
"Dok, krek, dok, krek, terdengar sampai masjid. Dan itu dilakukan setiap pagi," ujar Nurcholis Ubaidilah, salah satu alumni penghuni Masjid Sunan Kalijaga.
Nurcholis tinggal di masjid itu mulai tahun 1987 hingga 1990. Namun ia tinggal bersama Mbah Muchit sejak tahun 1985. Awalnya ia indekost di rumah Mbah Muchit, di selatan masjid. Namun karena ada persoalan, rumah itu dijual.
Mbah Muchit kemudian mendapatkan tanah wakaf beserta masjid itu. Hasil penjualan rumah pribadinya kemudian untuk membangun rumah di atas tanah wakaf di sebelah Masjid Sunan Kalijaga. Mbah Muchit tinggal di rumah itu.
Sedangkan dua anak kostnya yakni Nurcholis dan Tohir Affandi bertempat di dua ruangan di masjid. sementara anak kos lain yang tidak kebagian tempat di masjid, berpencar.
"Namun kami setiap malam ya ngumpul di masjid, sampai subuh. Tidur di masjid ini," lanjutnya.
Mbah Muchit-lah yang membangunkan para mahasiswa itu untuk shalat subuh. Usai shalat, para mahasiswa itu kembali tidur. Mbah Muchit membiarkan mereka tidur. Mbah Muchit kemudian berjalan-jalan di sepanjang jalan depan rumahnya.
"Memakai sandal klompen dan bawa tasbih. Jalan-jalan sampai sedikit terang. Kemudian masuk rumah dan mengentik. begitu setiap pagi, sejauh yang kami ketahui saat berada di masjid," imbuh Hasan Sentot, teman Nurcholis.
Meski tidak tinggal di masjid itu, setiap malam Hasan tidur di masjid tersebut. Keduanya berteman karena sama-sama kuliah di Fakultas Sastra Unej.
Apapun ditulis oleh Mbah Muchit, kata keduanya. Baik tentang agama, sosial, pendidikan, juga tentang keluarga. Dan Mbah Muchit menuangkan pemikirannya dalam tulisan memakai sebuah mesin ketik.
Tidak hanya dikenal jago menulis, Mbah Muchit juga dikenal sebagai pelahap semua bacaan. Buku lintas pemikiran bahkan lintas agama dia baca. Koran yang menjadi langganan Mbah Muchit sejak dulu adalah Kompas.
"Saya yang bagian njilid Kompas. Tebal-tebal jilidannya," lanjut Nurcholis sambil terkekeh. Majalah Tempo, Prisma, dan Aula juga menjadi jujugan bacaan Mbah Muchit.
"Pastinya juga kitab-kitab beliau yang tebal dan berbahasa Arab semua he he he. Kami suka disuruh baca itu kitab, kalau tidak tahu suruh tanya," imbuhnya. Jika mahasiswa yang tidur di masjidnya tidak mau membaca kitab-kitab di perpustakaannya, Mbah Muchit juga tidak memaksa.
Namun tradisi berdiskusi dan mengaji tetap berjalan. Diskusi digelar hampir setiap malam, juga setiap hari minggu. 'Kalau ngaji kitab dilakukan di bulan puasa. Kalau mengkaji al-quran dilakukan seminggu sekali dan itu diikuti oleh warga Muhammadiyah," kenang Nurcholis.
Nurcholis dan Hasan berada di Jember karena kiai dan guru mereka berpulang. Bersama mereka juga ada Yusron Muhammad. Yusron juga santri lepas di masjid Kalijaga. Dalam hidup Mbah Muchit, ia kerap bertugas sebagai pembawa tas sang kiai.
'Nggak tahu, pokoknya disuruh bawa tas dan diajak pergi-pergi kemana-mana. Ngisi acara, naik bus atau naik becak," kata Yusron. Baca Juga : Pesan Mbah Muchit Muzadi Sebelum Wafat
Yusron, Tohir, dan Nurcholis kini bekerja dan bermukim di Jakarta, sedangkan Hasan di Surabaya. Mereka berkumpul untuk menziarahi masjid dan makam guru mereka yang meninggal dunia, Minggu (6/9/2015). (sumb.sry/stm)
No comments
Post a Comment